Suara
burung kedasih diyakini mengundang kesialan dan kematian bagi orang yang
mendengarnya. Karena itu masyarakat selalu berusaha mengusirnya, saat burung
ini muncul di sekitarnya.
Entah apa yang ada
dalam pikiran Sunyoto. Saat tengah khusyu ritual di depan sebuah makam keramat,
tiba-tiba saja dia berdiri dan melongok ke atas sebatang pohon beringin raksasa
di dekatnya. Diambilnya sebongkah batu kecil dan dilemparkan kea rah rimbunnya
dedaunan pohon berusia ratusan tahun itu.
Seekor burung kedasih
pun tampak terbang meninggalkan dahan pohon tempatnya hinggap, setelah batu
yang dilempar Sunyoto melintas di dekatnya. Dan setelah itu Sunyoto kembali
melanjutkan ritualnya.
Ya, suara burung
kedasih yang mengalun mendayu-dayu sepertinya telah mengganggu konsentrasi pria
asal Klaten ini, hingga dia merasa perlu mengusir burung itu agar ritualnya
tidak terganggu. Tak hanya mengganggu, bagi Sunyoto, kedasih adalah burung
pembawa sial. Sehingga dia harus dijauhkan, agar tidak menyebarkan kesialan.
Bagi masyarakat Jawa,
apa yang diyakini Sunyoto sudah bukan hal yang baru lagi. Sebab masyarakat Jawa
meyakini bahwa ada beberapa jenis binatang yang mampu memebrikan tanda-tanda
tertentu, yang terkait dengan nasib hidup seseorang. Salah satunya adalah
burung kedasih.
Burung kedasih
sendiri yang memiliki nama latin cacomantis merulinus adalah burung yang
umum ditemui di wilayah pedesaan. Di berbagai tempat, burung ini memiliki
banyak nama. Selain kedasih, burung ini juga disebut emprit gantil, cuncuing,
ataupun tutuit. Dan hal itu merujuk pada suara yang dikeluarkannya yang bernada
tii..tut..twiiit, ..tii..tut..twiiit, .. tii..tut..twiiit.. dengan irama yang terdengar menyayat hati.
Burung ini biasa
bertengger di pucuk-pucuk pohon yang ada di kebun-kebun atau halaman rumah. Dan
yang paling sering, burung ini dijumpai di tempat-tempat yang dianggap keramat,
seperti pepunden atau komplek pemakaman. Karena itulah, banyak orang yang
menyebut kedasih sebagai burung setan.
Energi
Kematian
Hal ini juga
diperkuat dnegan kebiasaannya yang kerap berbunyi di tengah malam yang gelap.
Sehingga mendorong masyarakat kerap berusaha mengusirnya, saat melihat burung
ini hinggap di sekitarnya.
Keyakinan seperti itu
sebenarnya tak lepas dari keyakinan bahwa kehidupan manusia tak akan lepas dari
pengaruh alam. Hal itu adalah bagian dari hukum hubungan makrokosmos dan
mikrokosmos. Sehingga kemanunggalan jiwa dengan alam ini pula, yang kemudian
membawa masyarakat Jawa begitu meyakini bahwa tanda-tanda yang ditunjukkan oleh
alam, akan berpengaruh pada perjalanan hidupnya. Dan hal ini yang kemudian memunculkan
perhitungan pranotomongso, yang menjadikan alam sebagai patokan untuk memulai
aktifitas, terutama yang terkait dengan aktifitas mengolah lahan pertanian.
Dalam perhitungan
pranotomongso inipula, beberapa jenis hewan juga disebut sebagai penanda akan
sebuah kejadian, terutama yang menyangkut dimulainya musim tanam. Sebab
pranotomongso sejatinya memang berisi perhitungan terkait datangnya waktu-waktu
tertentu. Yang dikaitkan dengan saat-saat datangnya masa yang baik, untuk
memulai kegiatan tanam padi.
Namun dalam perkembangannya,
tafsir tentang pranotomongso semakin berkembang, di mana di dalamnya juga
dikaitkan dengan berbagai tanda alam lain yang diyakini merupakan gambaran
nasib kehidupan seseorang. Dan munculnya sosok binatang seperti burung kedasih,
gagak, prenjak atau yang lainnya, yang diyakini membawa pertanda tertentu
akhirnya juga menjadi pertimbangan tersendiri bagi masyarakat, sebelum mereka
melakukan aktifitas tertentu.
“Pranotomongso itu
sebenarnya berisi perhitungan terkait datangnya masa tanam. Sebab pembuatan
pranotomongso ini didsarkan pada fenomena alam yang terjadi saat itu. Sehingga
dengan begitu bisa dijadikan patokan terkait waktu mana yang tepat, untuk
memulai masa tanam,” jelas Empu Totok Brojodiningrat, pakar pawukon asal Sukoharjo
kepada depthINFO.com
Kembali ke burung
kedasih. Mitos yang terlanjur melekat pada burung ini memang telah mempengaruhi
pandangan masyarakat terhadap keberadaannya. Kehadiran burung kedasih tak hanya
dianggap sebagai penebar kesialan. Burng ini juga dipandang sebagai burung
kematian, di mana suaranya yang mengalun dengan irama meratap diyakini mirip
dengan suara terompet malaikat maut. Karena itu, tiap kali burung ini berbunyi
di suatu tempat, maka diyakini bahwa tidak lama kemudian di tempat tersebut
pasti ada orang yang meninggal.
Entah benar atau
tidak, dari beberapa cerita yang berkembang, memang selalu menyebutkan bahwa
kehadiran burung ini senantiasa diikuti meninggalnya seseorang. Meski belum ada
penelitian ilmiah terkait hubungan suara burung kedasih dnegan kematian
seseorang, namun masyarakat telah terlanjur percaya. Dan hal itu sampai
sekarang masih tetap dipegang dengan kuat, bahkan tak hanya di masyarakat Jawa.
Namun terlepas dari
mitos yang begitu kuat diyakini masyarakat, kedasih sendiri memang terbilang burung
yang unik. Selain suaranya yang memang bisa menciptakan suasana mistis saat
diperdengarkan, perilaku burung ini bisa dikatakan tidak umum dilakukan oleh
burung yang lain.
Mitos
Mungkin telah menjadi
bagian dari rahasia Tuhan yang sengaja menciptakan burung kedasih dengan
keunikannya. Di mana burung ini tidak pernah memiliki sarang, sebagaimana
burung-burung lain pada umumnya.
Pada tiap-tiap kali
musim kawin, burung ini akan bersaha mencari sarang burung lain untuk
menitipkan telurnya. Karena itulah, dia akan berusaha untuk mencari ranting
tertinggi untuk hinggap, agar bisa melihat ke sekelilingnya. Dengan begitu dia
bisa dengan mudah menemukan sarang burung lain, terutama dari jenis pemakan
serangga, untuk dititipi telur.
![]() |
Anakan burung kedasih yamg diasuh induk burung prenjak |
Keberadaan burung
kedasih memang akan menjadi momok tersendiri bagi burung yang kebetulan sedang
mengerami telur. Sebab saat burung kedasih menemukan sarang burung itu, maka
telur-telur dari burung tersebut akan dibuang dan diganti dnegan telur kedasih.
Sehingga pada saat menetas nantinya, yang keluar adalah sosok anak burung
kedasih.
Tidak dimilikinya
akal yang lebih, membuat burung yang sarangnya dititipi telur kedasih, akan
menyangka bahwa anak kedasih itu adalah anaknya. Apalagi telurnya sendiri sudah
tidak ada lagi. Sehingga kemudian anak kedasih itu diasuh sampai besar.
Gambaran itu jelas
menunjukkan bahwa burung kedasih memang membawa kesialan dan bahkan kematian
bagi burung lain. Karena itulah, keberadaan kedasih di suatu tempat juga pasti
akan diwaspadai oleh burung-burung lain yang tengah bertelur. Sebab bila mereka
lengah, maka telur-telur mereka akan dimakan oleh kedasih, dan digantikan
dnegan telurnya.
Telur-telur yang
dimakan jelas merupakan symbol kematian bagi burung yang sarangnya didatangi
kedasih. Sebab dengan begitu maka proses regenerasi mereka akan terputus. Dan
kehadiran telur kedasih yang kemudian menetas tentunya juga menjadi bentuk
kesialan tersendiri bagi burung yang mengeraminya. Sebab meski harus susah
payah merawat dan membesarkan anak burung itu, tetap saja itu bukan anaknya
yang sebenarnya.
Dan agaknya fenomena
ini kemudian diterapkan dalam kehidupan masyarakat, dnegan memunculkan
keyakinan bahwa burung ini pembawa sial dan kematian. Padahal sebenarnya hal
itu berlaku di dunia perburungan.
Namun demikian,
berkembangnya mitos terkait burung kedasih ini sebenarnya adalah pelajaran
hidup bagi masyarakat. Di mana masyarakat diharapkan untuk tidak meniru
perilaku buruk burung kedasih. Sehingga di tiap kali kemunculannya, mereka
berusaha mengusirnya,
“Apa yang diajarkan
nenek moyang kita dahulu selalu penuh dnegan symbol. Agar tidak sampai
terinspirasi kejahatan kedasih, lantas mereka mencip[takan mitos bahwa kedasih
adalah burung pembawa sial dan kematian. Sehingga tiap kali muncul diajarkan
untuk mengusirnya. Padahal sebenarnya hal itu sejatinya tidak akan berpengaruh
apapun pada manusia. Meski semua tergantung keyakinan masing-masing. Sebab
kalau sudah bicara keyakinan, hal itu sifatnya snagat pribadi,” ungkap Dewi Sri
Sapawi, spiritualis asal Solo. //
0 Komentar