Beragam
karya seni dijual di Pasar Ngarsopuro. Karena itu wacana mengubah kawasan ini
menjadi seperti Malioboro di Yogyakarta, terus disampaikan untuk meningkatkan
kunjungan wisata ke Kota Solo.
Pasar
Ngarsopuro memang menjadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan untuk
datang ke kota Solo. Sebab berbeda dnegan pasar-pasar lain yang ada, di
Nagrsopuro masyrakat bisa mendapatkan berbagai pernik kerajinan tangan yang
tidak dijual di tempat lain. Sehingga tak hanya bisa berbelanja, para
pengunjung juga bisa berjalan-jalan menikmati keaneka ragaman hasil kerajinan
yang dijual oleh para pedagang di pasar ini.
Pasar
Ngarsopuro sendiri berada tepat di jantung kota Solo, tepatnya di Jalan
Diponegoro. Berada dalam satu lokasi dengan pasar barang antik Triwindu,
membuat pasar Ngarsopuro memang snagat identik dnegan hal-hal yang berbau seni.
Dan
untuk menguatkan image itulah, maka di tiap kali waktu operasional, disediakan
sebuah panggung terbuka yang bisa diisi oleh penampilan para seniman di Kota
Solo. Di mana selain bisa memberikan hiburan pada para pengunjung, hal itu juga
bisa menjadi ajang unjuk kemampuan bagi mereka, untuk menunjukkan
eksistensinya.
Karena
itulah, meski merupakan penampilan gratis, namun untuk bisa tampil di panggung
ini para seniman juga harus antri. Sebab dengan hanya menyediakan waktu
pertunjukan seminggu sekali, tentu akan sangat banyak para seniman yang ingin
tampil menunjukkan kebolehan mereka, di hadapan ribuan warga Solo yang datang
ke Pasar Ngarsopuro.
Mulai
diresmikan sejak 2008 oleh Joko Widodo yang saat itu masih menjabat sebagai
walikota Solo, Pasar Ngarsopuro memang benar-benar menyulap kawasan Jl
Diponegoro yang sebelumnya kumuh, menjadi kawasan yang indah. Trotoar jalan
yang sebelumnya dipenuhi oleh PKL ditertibkan dan diubah menjadi city walk yang
bisa digunakan oleh warga untuk berjalan-jaln santai menikmati keindahan kota
Solo.
Selain
itu, penampilan kawasan ini juga dipercantik dnegan tambahan lampu-lampu hias
di sepanjang jalan yang langsung menuju ke Keraton Mangkunegara itu. Tak hanya
itu, jajaran tenda-tenda para pedagang yang berbaris rapi, juga menciptakan
keunikan tersendiri di kawasan ini.
Aneka Kerajinan dijual di Pasar Ngarsopuro |
Unik
Pasar
Ngarsopuro memang unik. Meski disebut pasar, namun tidak semua pedagang bisa
berjualan di pasar ini. Selain harga sewa stand yang terbilang cukup tinggi
karena mencapai 500 ribu per bulan, ijin hanya diberikan kepada mereka yang
memang merupakan penggiat UMKM di kota Solo. Sehingga keberadaan pasar ini bisa
menjadi sarana promosi bagi kegiatan mereka, selain bisa langsung menjualnya di
sana.
“Kalau
di sini memang tidak terlalu laku. Tapi biasanya dari sini akan ada calon-calon
pemesan, yang kemudian menjalin hubungan lebih lanjut,” ujar Bahen seorang
pedagang cinderamata di Pasar Ngarsopuro.
Di
Pasar Ngarsopuro, para pengunjung tidak hanya bisa membeli atau melihat-lihat
hasil karya seni kreasi para seniman dan pengrajin Solo. Bagi yang perutnya
sudah lapar karena lelah berkeliling, mereka bisa menikmati berbagai kuliner
khas Solo yang ada di sisi Utara kawasan ini.
Ya.
Pasar Ngarsopuro secara garis besar memang terbagi dalam tiga bagian. Di sisi
Selatan diisi oleh para pengrajin beraneka ragam karya seni. Di bagian tengah
adalah tempat untuk memajang karya fashion termasuk batik. Dan di sisi utara
diisi oleh para pedagang makanan.
Beragam
makanan khas Solo seperti nasi liwet, serabi atau yang lainnya bisa ditemukan
dnegan mudah di tempat ini. Hanya saja seiring berjalannya waktu, konsep khas
yang hendak diciptakan untuk membedakan pasar ini dnegan yang lainnya mulai
berubah. Karena saat ini sudah semakin banyak ditemui para pedaang makanan
modern yang jauh dari ciri khas tradisional Kota Solo.
BRM. Kusumo Putro Ketua DPPSBI |
Karena
itulah dalam musrenbangkot yang digelar pemerintah Kota Surakarta, ketua Dewan
Pemerhati dan Penyelamat Seni Budaya Indonesia (DPPSBI), BRM Kusumo Putro mengusulkan
untuk mengubah kawasan Ngarsopuro menjadi seperti kawasan Malioboro di
Yogyakarta. Sebab dnegan menerapkan konsep seperti kawasan Malioboro, maka hal
itu bisa membangkitkan sector pariwisata di kota Solo.
“Jumlah
obyek wisata di Kota Solo ini terbilang sangat minim. Dan hal itu bukan tidak
mungkin akan mempengaruhi tingkat kunjungan di hotel-hotel yang ada di sini.
Bahkan bisa jadi dalam 5 atau 10 tahun ke depan akan banyak hotel yang tutup
karea kekurangan tamu pengunjung. Karena itulah kami mengusulkan untuk
memberdayakan obyek-obyek wisata yang ada dengan konsep yang lebih tepat. Salah
satunya mengubah kawasan Ngarsopuro menjadi obyek wisata jalan-jalan seperti di
Malioboro,” jelas Kusumo kepada depthINFO.com.
Kawasan
Ngarsopuro menurut Kusumo sangat tepat bila diubah seperti Malioboro. Sebab di
sini sudah ada unsure pendukung yang kuat, yang bisa menjadi bagian dari obyek
wisata jalan-jalan itu. Sehingga begitu diterapkan, pasti akan menyedot banyak
pengunjung untuk menikmatinya.
Selain
itu, pemerintah Kota Surakarta juga tidak perlu khawatir dnegan permasalahan
yang akan timbul, bila konsep ini diterapkan. Sebab ruas jalan Diponegoro ini
tidak terlalu panjang, dan di sana tidak terlalu banyak bangunan yang
berpotensi memicu sengketa. Tak hanya itu, ruas jalam ini juga bukan jalur
utama yang setiap saat mengalami kemacetan. Sehingga bila kemudian benar-benar
ditutup dan diubah menjadi obyek wisata jalan-jalan akan lebih mudah.
“Bila
Ngarsopuro diubah seperti Malioboro, saya yakin obyek wisata ini akan
benar-benar berkembang pesat. Sebab saat berwisata di sana, selain bisa
jalan-jalan sambil belanja, pengunjung bisa berkunjung ke Pasar Triwindu dan
juga Keraton Mangkunegara. Belum lagi di sana juga sudah banyak café-café yang
bisa menjadi jujugan bagi merea yang ingin berwisata kuliner. Dan penerapan
konsep ini juga tidak akan banyak menimbulkan masalah, karena jalur kawasan Ngarsopuro
ini bukan jalur utama,” sambung Kusumo.
Dengan
mengubah kawasan Ngarsopuro menjadi seperti Malioboro, nantinya akan
membangkitkan sector ekonomi terutama golongan UMKM yang selama ini hanya
berjualan pada Sabtu malam saja. Selain itu, nantinya Kota Solo akan
benar-benar bisa memiliki obyek wisata yang bisa menyedot datangnya wisatawan. Yang
pada akhirnya bisa meningkatkan perekonomian masyarakat.
“Bila
merujuk pada sejarah Pasar triwindu, pasar ini dibuat oleh mendiang
Mangkunegara VII untuk peningkatan perekonomian warga Solo yang berada di
sekitarnya. Dan hal inilah yang juga saya bayangkan bila kemudian kawasan
Ngarsopuro diubah menjadi seperti Malioboro. Maka akan ada banyak sector ekonomi
yang mengalami peningkatan secara signifikan, baik itu dari sector UMKM,
perhotelan ataupu yang lainnya,” pungkasnya. //
0 Komentar