Dengan didaftarkannya kawasan Gunung Lawu sebagai kawasan
cagar budaya, maka segala bentuk upaya eksplorasi yang bisa merusak lingkungan
bisa dihentikan.
Kekhawatiran terjadinya kerusakan alam di kawasan Gunung
Lawu bila proyek panas bumi nantinya dijalankan, memang telah menyelimuti
banyak pihak. Sebab proyek yang akan dijalankan oleh PT Pertamina Geothermal
Energy itu nantinya disebutkan akan mengeksplorasi kawasan Lawu dengan radius
yang sangat luas. Yang mana tujuannya untuk menemukan titik-titik panas bumi
yang bisa dijadikan sebagai sumber pembangkit tenaga listrik.
Ya, eksplorasi energy panas bumi di Gunung Lawu sedianya
akan dilakukan oleh PT Pertamina Geotermal Energy (PGE), yang memenangkan
tender pada tahun 2016 lalu. Dan rencananya megaproyek ini akan mulai
dilaksanakan pada pertengahan tahun ini. Yang ditargetkan sudah akan
dioperasikan pada tahun 2022 mendatang.
Namun rencana eksplorasi Gunung Lawu ini dipandang sebagai
sebuah langkah yang keliru oleh sebagian masyarakat. Sebab dampak
negative yang akan ditimbulkan akan jauh lebih besar dari pada hasil positif
dari proyek tersebut. Ini merujuk pada tingginya tingkat kesulitan dalam pengoperasian
pembangkit listrik panas bumi ini. Sehingga dikhawatirkan akan terjadi
kegagalan dalam operasi, yang bisa memicu terjadinya berbagai bencana alam.
Karena itulah, demi mencegah terjadinya kerusakan alam
seiring dnegan pelaksanaan proyek ini, berbagai kelompok pecinta lingkungan
sepakat melakukan aksi penolakan. Dan salah satunya adalah Dewan Pemerhati dan
Penyelamat Seni Budaya Indonesia (DPPSBI).
Ketua DPPSBI, BRM. Kusumo Putro, SH, menyatakan bahwa
eksplorasi energy panas bumi di Gunung Lawu tidak hanya akan menimbulkan
bencana alam. Tapi tentunya juga akan merusak berbagai situs bersejarah yang
ada di kawasan Gunung Lawu. Sebab secara historis, Gunung Lawu memiliki kaitan
dnegan sejarah panjang perkembangan bangsa Indonesia. Yang mana hal ini
ditandai dnegan banyaknya ditemukan situs-situs bersejarah, yang merupakan
peninggalan beberapa kerajaan di masa lalu.
“Di Gunung Lawu ini banyak situs peninggalan sejarah yang
menjadi petunjuk tentang perkembangan peradaban masyarakat Jawa. Dan bila
eksplorasi sampai dilakukan, maka dikhawatirkan situs-situs itu nantinya juga
akan rusak dan bahkan hilang. Sehingga akan mengubah tradisi dan adat istiadat
yang selama ini dipegang teguh oleh masyarakat sekitar,” jelas Kusumo kepada depthINFO.com.
![]() |
BRM Kusumo Putro bersama Sekjen LAPAN RI |
Karena itulah Kusumo mendesak agar proyek ini dihentikan.
Sebab aspek negative yang akan ditimbulkan jauh lebih besar dari manfaat yang
dihasilkan. Apalagi wilayah Pulau Jawa termasuk Jawa Tengah sejauh ini tidak
pernah mengalai krisis pasokan listrik. Sehingga ditengarai bahwa proyek
senilai 660 juta dollar AS ini adalah proyek yang dipaksakan demi kepentingan
pribadi.
Dan satu langkah strategis yang kemudian diambil oleh
lembaga ini adalah dnegan mendaftarkan kawasan Gunung Lawu sebagai kawasan
cagar budaya. Dengan demikian, maka seluruh kawasan ini akan dilindungi
undang-undang. Sehingga segala bentuk eksplorasi yang bisa merusak alam, bisa
dicegah.
Pendaftaran kawasan Gunung Lawu sebagai kawasan cagar budaya
sendiri menurut Kusumo bisa dilakukan oleh siapa saja. Sehingga tidak hanya
institusi pemerintahan. Sebab hal ini dijelaskan dalam pasal 29 ayat 2 UU Nomer
11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Yang mana di dalamnya dijelaskan bahwa setiap
orang dapat berpartisipasi dalam melakukan pendaftaran benda, bangunan,
struktur dan lokasi yang di duga sebagai cagar budaya, meskipun tidak memiliki
dan menguasainya.
Tak hanya itu, langkah yang dilakukan DPPSBI ini juga
diperkuat dengan pasal 1 dalam undang-undang yang sama. Yang mana dijelaskan
bahwa cagar budaya tidak hanya bersifat kebendaan, struktur cagar budaya dan
situs cagar budaya, tetapi kawasan cagar budaya yang ada di darat atau di air
juga perlu dilestarikan.
“Di Gunung Lawu tersimpan kekayaan budaya yang sangat besar.
Tak hanya bangunan-bangunan bersejarah yang tersebar di setiap sudutnya. Di sana
juga terdapat kekayaan budaya dari adat istiadat masyarakatnya. Yang mana hal
itu bisa terganggu bila kemudian terjadi eksplorasi panas bumi di sana. Karenanya,
demi mencegah terjadinya upaya eksplorasi ini, kami lantas mendaftarkannya ke
BPCB (Balai Pelestari Cagar Budaya) agar kawasan Gunung Lawu senantiasa
terlindungi dari upaya pengrusakan,” sambung Kusumo.
Dijelaskan pula bahwa dalam UU Cagar Budaya sebenarnya semua
sudah jelas diatur, termasuk peran pemerintah dalam upaya pemeliharaannya. Hanya
saja terkadang justru hal ini tidak terlalu diperhatikan oleh pemerintah. Sehingga
kemudian banyak kebijakan-kebijakan yang justru mengancam kelestarian cagar
budaya. Termasuk pelaksanaan proyek panas bumi di Gunung Lawu.
"Dalam pasal 26 UU Cagar Budaya jelas disebutkan bahwa
pemerintah wajib melakukan pencarian benda, bangunan, struktur atau lokasi yang
diduga sebagai cagar budaya. Namun pada kenyataannya, di kawasan Gunung Lawu hal
itu justru tidak dilakukan. Padahal bila mau merujuk pada informasi yang
disampaikan warga setempat, ada banyak situs-situs cagar budaya yang masih
belum tergali. Dan bukannya justru melaksanakan proyek (panas bumi) yang
berpotensi merusak situs-situs cagar budaya itu,” tegasnya.
Karena itulah, Kusumo berharap agar upaya pendaftaran yang
dilakukannya segera direspon pihak BPCB dnegan mengeluarkan surat registrasi, yang
menetapkan bahwa kawasan Gunung Lawu merupakan kawasan cagar budaya yang harus
dilindungi. Dengan begitu maka upaya eksplorasi panas bumi yang akan dilakukan
oleh PT. Pertamina Geothermal Energy bisa dicegah. Atau setidaknya pemerintah
akan meninjau kembali kebijakan tersebut. //
0 Komentar