Belajar dari kekalahan Ahok dalam pilgub DKI
Jakarta, PDIP dituntut untuk jeli dalam mencari calon yang bisa menyelamatkan
mukanya di ajang pilkada serentak 2018
Kekalahan
Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) dalam perhelatan pilgub DKI beberapa waktu lalu,
seolah membuka mata siapapun bahwa prestasi dan popularitas tidak bisa 100%
dijadikan senjata untuk maju dalam sebuah pemilihan. Dan itu terlihat bagaimana
Ahok yang di atas kertas sangat dijagokan akan melahap habis perolehan suara,
ternyata harus mengakui keunggulan lawan politiknya Anis Baswedan dan Sandiaga
Uno. Bahkan selisih perolehan suara keduanya cukup signifikan, yakni sekitar
42% - 58%.
Berbagai
spekulasi pun bermunculan, terutama terkait kelanjutan hubungan antara Ahok
dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Hal ini mengingat bahwa
sosok Ahok masih dipandang memiliki nilai jual tinggi, dan tahun depan partai
berlambang kepala banteng moncong putih itu juga harus berlaga habis-habisan
dalam pilkada serentak. Yang tentunya PDIP tidak ingin kehilangan muka dengan
mengalami nasib seperti pada pilgub DKI Jakarta.
Spekulasi
seperti itu memang wajar berkembang, mengingat partai yang saat ini berada di
belakang Ahok, dalam hal ini PDI Perjuangan tentu berambisi mempertahankan
kemengan di daerah-daerah yang selama ini dikuasainya. Salah satunya Jawa
Tengah, yang merupakan salah satu basis kekuatan terbesar partai berlambang
kepala banteng moncong putih itu.
Hal
ini perlu dilakukan terlebih saat ini PDI P telah mengalami dua kali kekalahan
di dua pilkada ‘besar’, yaitu DKI Jakarta dan Banten. Itu artinya bahwa
loyalitas dari massa partai ini mulai dipertanyakan banyak pihak, terkait
upayanya untuk memenangkan calon dari partai tersebut.
Namun
pilkada dalam hal ini pemilihan gubernur bukan hanya sebatas dukungan pada
partai. Justru yang paling menentukan adalah figure dari calon yang dipasang.
Sehingga dengan kekalahan dua calon di dua ajang pilkada yang digelar hampir
bersamaan tersebut, tentu menuntut PDIP untuk lebih jeli dalam memilih calon.
Agar dalam ajang pilkada ke depan bisa mendulang kesuksesan.
Budayawan
asal Solo yang juga loyalis PDIP, BRM Kusumo Putro menjelaskan bahwa kasus
pilkada DKI Jakarta hendaknya bisa dijadikan pelajaran berharga bagi PDIP, saat
memilih kader yang akan dijagokan dalam ajang pilkada. tak hanya berprestasi,
namun tentu ada pertimbangan moral tertentu yang harus dimiliki seorang calon.
Sehingga dia benar-benar menjadi magnet yang kuat bagi para pemilih.
“Dengan
kekalahan Ahok di pilkada DKI, PDI Perjuangan, harus waspada dan
hati-hati dalam memilih kader yg akan maju di pilkada mendatang. Carilah kader
yang benar-benar baik tanpa cacat. Karena kader yang dibutuhkan adalah yang
baik, jujur, pro wong cilik, tidak angkuh dan sombong, serta anti korupsi. Dan
yang paling penting adalah dicintai rakyat, terutama di daerahnya sendiri.
Sehingga pertarungan yang akan dilakukan dalam pilkada itu benar-benar
efektif,” ujarnya kepada depthINFO.com
BRM. Kusumo Putro |
Ahok
sendiri menurut Kusumo bukan sosok tanpa celah. Sehingga di luar segala
prestasi yang dimilikinya, ada beberapa hal yang bisa membuatnya bermasalah,
termasuk dengan hukum. Salah satunya kasus penistaan agama ataupun prosedur
tukar guling RS Sumber Waras.
Karena
itulah, hal ini menjadi sinyal bagi PDIP untuk berhati-hati dan tidak sampai
mengalami blunder, seperti di pilkada DKI Jakarta. Sebab bila tidak, maka bisa
dipastikan partai ini akan mengalami kegagalan luar biasa pada perhelatan
pilkada serentak 2018 mendatang.
“Perlu
diketahui bahwa Ahok itu bukan orang PDIP. Bahkan justru PDIP yang melamarnya
di menit-menit akhir. Artinya bahwa PDIP tidak benar-benar bisa mengendalikan
Ahok agar berjalan sesuai dnegan tatanan yang ada di dalam partai. Sehingga
bila ada perhitungan yang salah terhadap pemilihan calon, seperti Ahok, akan
menjadi boomerang bagi partai. Namun demikian, kemungkinan untuk tetap
menggandeng Ahok juga masih ada. Bahkan bukan tidak mungkin bisa diprospek
menjadi kader, untuk kemudian diproyeksikan sebagai menteri ataupun anggota
dewan,” lanjut Kusumo.
Dan
dalam pilkada serentak 2018 mendatang, Jawa Tengah tentu menjadi sorotan.
Karena di sinilah kantong suara terbesar PDIP. Sehingga pertaruhan besar dari
partai ini akan dilakukan di sini, terutama dalam perhelatan pemilihan
gubernur. Sebab besar kemungkinan Ganjar Pranowo tidak akan dipasang lagi,
karena tengah menjadi sorotan atas berbagai kasus, termasuk E-KTP dan
Geothermal Lawu.
“Dalam
pilkada Jawa Tengah, nama besar PDIP benar-benar akan dipertaruhkan. Sebab bila
salah dalam memilih calon yang akan dijadikan jago, maka kasus seperti di
Jakarta akan terulang. Dan bila hal itu terjadi, maka bisa dipastikan pada
pileg maupun pilpres 2019, PDIP akan kesulitan meraih kemenangan,” tegasnya. //
0 Komentar