Sehari sebelum pelaksanaan acara tingalan jumenengan, petir menyambar Sasana Sewaka, tempat di mana acara sakral itu dilaksanakan. Konon itu pertanda kehadiran Ratu Kidul, yang akan ikut melancarkan jalannya prosesi tingalan jumenengan, setelah vakum selama empat tahun.
Di
tengah penjagaan ketat sekitar 795 personil aparat kepolisian, alunan suara
gamelan Kyai Kaduk Manis dan Kyai Manis Renggo menggema di seantero penjuru
Sasana Sewoko, Keraton Surakarta Hadiningrat. Bersama dengan alunan gending
sakral tersebut, terlihat berjalan perlahan sembilan orang gadis cantik, memasuki
sasan di mana Sinuhun Paku Buwono (PB) XIII duduk di dampar kencana.
Suasana
heningpun tercipta. Tak ada sepatah katapun terucap dari mereka yang hadir,
termasuk Sinuhun yang sejak awal duduk di atas dampar kehormatannya. Bahkan
mata raja Keraton Surakarta Hadiningrat ini terus memandang dengan seksama dan
penuh perhatian ke arah para penari yang terus meliukkan tubuhnya dengan
gemulai.
Bagi
raja dari dinasti Mataram, tarian kesembilan gadis cantik tadi bukanlah
sembarang tarian. Karena itu, sosok setingkat rajapun harus dengan seksama
memusatkan perhatian ke para penari itu. Sebab tarian sakral ini hanya akan
ditampilkan setahun sekali dalam prosesi tingalan
jumenengan Sinuhun, atau ulang tahun
kenaikan tahta raja.
Ya.
Kesembilan gadis itu memang para penari yang didaulat secara khusus untuk
menarikan tarian sakral Bedhaya Ketawang. Tarian ini memang bukan seperti
umumnya tarian yang biasa dimainkan. Sebab di dalam gerakan tarian ini
terkandung nilai-nilai religiusitas yang sangat tinggi.
Dan
ditampilkannya tarian ini menjadi penanda puncak dari upacara tingalan
jumenengan yang digelar Keraton Solo. Sebab tarian bedhaya ketawang dipandang
sebagai salah satu prosesi wajib, yang harus diadakan sebagai bagian dari
peringatan ulang tahun kenaikan tahta raja Keraton Solo itu.
Karena
itulah ada aturan yang begitu keras yang wajib dipatuhi oleh para tamu undangan
yang hadir, pada saat terian ini ditampilkan. Tidak boleh saling berbincang,
makan, atau yang lainnya. Seluruh perhatian harus difokuskan pada gerakan
gemulai dan sakral para penari.
Lalu
kenapa dalam upacara ini harus diikuti dengan pementasan Bedhaya Ketawang.?
Semua tak lepas dari sosok Kanjeng Ratu Kidul yang diyakini selalu hadir dalam
setiap pementasan tarian ini. Dan penguasa laut selatan itu sendiri selama ini
memang diyakini memiliki hubungan khusus dengan para raja yang berkuasa di
keraton Mataram baik yang di Solo maupun yang di Jogjakarta.
Konon
dalam cerita yang berkembang, untuk mendirikan Kerajaan Mataram, Panembahan
Senopati mendapat bantuan dari kerajaan Laut Selatan. Dan demi bantuan itu,
merekapun terlibat dalam satu perjanjian gaib, yang salah satu bentuknya adalah
dijalinnya hubungan pernikahan antara Panembahan Senopati dengan Kanjeng Ratu
Kidul.
Perjanjian
yang terjalin antara Panembahan Senopati dan Kanjeng Ratu Kidul bersifat
mengikat. Artinya bahwa hubungan khusus di antara mereka akan berlanjut hingga
ke anak turun Panembahan Senopati yang menjadi raja. Hal inipun tetap
terpelihara demi eksistensi keraton itu sendiri. Sebab dari hubungan yang
terjalin tersebut, konon pihak keraton senantiasa mendapatkan perlindungan
secara gaib dari penguasa Laut Selatan itu.
Sinuhun PB XIII duduk di dampar kencana mengikuti prosesi tingalan jumenengan |
Fenomena Gaib
Dan
konon dalam pelaksanaan acara tingalan jumenengan pada 22 Aril 2017 lalu, sosok
Ratu Kidul kembali hadir untuk ikut menari bersama kesembilan penari Bedhaya
Ketawang. Ini terjadi karena prosesi tingalan jumenengan kemarin dipandang
sebagai titik awal dari dimulainya kehidupan baru di keraton, setelah 13 tahun
dirundung konflik internal. Bahkan dalam empat tahun terakhir, Sinuhun sempat
tidak mau menghadiri acara tingalan jumenengan. Sehingga prosesi tingalan
jumenengan digelar tanpa raja.
Karenanya
dalam tingalan jumenengan yang ke-13 ini, tampak Sinuhun begitu terharu saat
menyaksikan gerakan gemulai para gadis penari Bedhaya Ketawang. Tak
henti-hentinya sang raja yang sempat terbelit kasus asusila ini membasuh air
mata yang membasahi pipinya. Dan hal itu bukan tanpa alasan. Karena tentu
dengan kembalinya dia duduk di dampar kencana (singgahsana), tentu dia
mengharap segala masalah yang selama ini membelit keluarganya bisa selesai. Sehingga
seluruh adik-adiknya bisa diajak kerja sama mengembangkan keraton Surakarta
Hadiningrat.
“Ini
adalah momentum yang sangat penting dalam perjalanan sejarah keraton (Surakarta
Hadiningrat). Karena Sinuhun akhirnya bisa kembali duduk di dampar kencana dan
menyaksikan Bedhaya Ketawang. Hal yang sebelumnya sempat nyaris tak terwujud,
karena adanya konflik internal. Dan karena itulah, momentum ini ditandai sebuah
gejala alam yang sangat luar biasa, yaitu sambaran petir yang sangat
menggelegar di atas Sasana Sewoko, pada sore hari jelang pelaksanaan acara. Dan
hal itu tentu tak lepas dari sosok Ratu Kidul yang selama ini diyakini selalu
menjadi bagian dari prosesi tingalan jumenengan,” jelas KRT. Bambang
Saptonodiningrat, budayawan yang juga sentono dalem Keraton Surakarta
Hadiningrat.
Sosok
Ratu Kidul memang terkait erat dengan tarian Bedhaya Ketawang yang ditampilkan pada
acara Tingalan jumenengan. Di mana sosok gaib ini diyakini selalu hadir, dan
bahkan ikut menari bersama kesembilan penari. Karena itu pula ada persyaratan
yang begitu ketat yang wajib dipatuhi oleh para penari Bedhaya Ketawang. Bahwa
syarat utama dari para penari ini adalah, mereka masih gadis dan tidak dalam
kondisi menstruasi. Sebab pada saat menari tersebut, salah satu dari kesembilan
penari biasanya akan dirasuki sosok Kanjeng Ratu Kidul.
Tak
hanya itu, kehadiran Ratu Kidul juga diyakini sebagai bagian dari pengakuan
atas sebuah kekuasaan seorang raja keturunan Mataram. Di mana Ratu Kidul
disebut-sebut ikut memberi restu, sehingga masa kepemimpinan dari sang raja ke
depan bisa dilalui dnegan baik. Karena itulah suasana acara tingalan jumenegan
kemarin terasa begitu sakral. Bahkan sosok Mendagri Tjahyo Kumolo yang ikut hadir,
tampak tertegun khidmat mengikuti seluruh rangkaian acara tingalan jumenengan
tersebut.
KRT. Bambang Saptonodiningrat |
Ditemui depthINFO.com di tengah acara tingalan jumenengan, Bambang Saptonodiningrat menjelaskan
bahwa kesakralan acara tingalan jumenengan memang tak lepas dari kehadiran
sosok Ratu Kidul. Apalagi hampir seluruh anggota keluarga sang raja yang
bertikai, berhasil dikumpulkan dan duduk bersama untuk mengikuti prosesi sakral
yang digelar setahun sekali itu. Sehingga acara tersebut menjadi momentum
bersejarah yang dijadikan ajang reuni serta silaturahmi seluruh adik sang raja,
yang selama ini bertikai dan terpecah menjadi dua kubu.
“Kondisi
yang seperti ini tentu menjadi harapan dari kita semua. Sehingga proses budaya
yang selama ini menjadi baian dari tradisi keraton bisa berjalan sebagaimana
mestinya. Dan tentu hal ini juga tak lepas dari peran aktif pemerintah pusat
yang telah aktif ikut menjembatani dua
kubu yang bertikai, sehingga bisa menyatu,” sambung Bambang.
Bambang
tak menampik bahwa potensi konflik masihh mungkin akan terbuka, karena GKR Koes
Moertiyah atau Gusti Mung yang menjadi pentolan Lembaga Dewan Adat tetap enggan
hadir. Memang ada kabar bahwa sosok yang selama ini paling menentang perdamaian
di dalam keraton itu sedang menjalani perawatan di Jakarta. Namun hal itu oleh
sebagian pihak hanya dianggap sebagai alasan bahwa Gusti Mung masih belum
menerima perdamaian yang digagas sang raja.
“Beberapa
hari sebelum acara tingalan jumenengan, saya sempat menghadap Gusti Mung dan
Kanjeng Edy (KP Edy S Wirabumi – suami Gusti Mung). Saya sempat menyampaikan
agar seyogyanya beliau berdua bisa menerima tawaran perdamaian yang diajukan
oleh tim lima (Satgas Panca Narendra). Namun agaknya beliau sangat percaya diri
untuk tetap bersikukuh pada pendiriannya. Sehingga saya juga tidak mampu
berbuat apa-apa,” kenang Bambang.
Namun
demikian Bambang dan sebagian besar sentana, abdi dalem serta kerabat keraton
mengaku bersuka cita dengan kembalinya sang raja dalam acara tingalan
jumenengan. Dan mereka berharap agar ke depan tidak ada lagi permasalahan yang
bisa membuat kewibawaan keraton hancur. Karenanya usai acara tingalan
jumenengan tersebut, para kerabat keraton bersama tim lima akan mengadakan
pertemuan guna membahas restrukturisasi di dalam lembaga keraton.
Hal
ini seperti yang disampaikan oleh KGPH Puger, salah satu adik dari Sinuhun PB
XIII yang selama ini didaulat oleh Lembaga Dewan Adat sebagai Pelaksana Tugas
(Plt), yang mewakili Sinuhun dalam beberapa kegiatan termasuk tingalan
jumenengan, saat di masa konflik. Karena di saat situasi konflik empat tahun
terakhir, sang raja enggan melibatkan diri dalam berbagai acara keraton,
termasuk tingalan jumenengan. Yang merupakan bentuk protes dari sang raja atas dominasi
kekuasaan Lembaga Dewa Adat, yang dipandang melampaui batas wewenangnya.
“Tentu
ke depan kita semua berharap segalanya berjalan dnegan baik. Karena itu nanti
kita semua akan mengadakan rapat khusus untuk membahas masa depan keraton.
Termasuk penataan kembali struktur di dalamnya. Dan saya juga ikut terlibat di
dalanya,” ujar Puger usai acara tingalan jumenengan.//
0 Komentar