Sebagai makanan khusus para raja, keistimewaan nasi blawong terus dijaga. Termasuk penyajian menggunakan piring pusaka peninggalan Mataram, yang bernama Kanjeng Kyai Blawong.
Sepintas tak ada yang terlihat istimewa
dari menu nasi blawong yang disajikan di Gadri Resto Jogjakarta, selain
penampilannya yang menarik dengan lauk lengkap dan khas. Aromanya mirip dengan
nasi uduk atau nasi gurih yang biasa dipakai dalam berbagai acara selamatan.
Bahkan untuk warnanya, bisa dikatakan cenderung kurang menarik. Sebab nasi
blawong terlihat agak kemerahan, berbeda dengan nasi-nasi lain yang umumnya
berwarna putih bersih.
Namun siapa yang sangka kalau ternyata
menu yang satu ini adalah menu yang sangat istimewa. Sebab menu yang satu ini
memang salah satu menu rahasia keraton Jogjakarta, yang tetap dijaga
kerahasiaan resepnya. Sehingga tidak akan pernah bisa ditemui di tempat lain,
selain di restoran milik BRAy. Hj. Nuraida Joyokusumo ini.
Kebetulan BRAy. Hj. Nuraida Joyokusumo
sendiri adalah salah satu menantu kesayangan dari mendiang Sri Sultan Hamengku
Buwono IX. Sehingga dia bisa mendapatkan akses yang luas untuk mengetahui
resep-resep rahasia keraton. Termasuk nasi blawong yang dipandang sebagai jenis
nasi paling istimewa di dalam keraton.
Dipandang istimewa karena nasi ini hanya
disajikan pada hari-hari tertentu saja. Sehingga tidak setiap saat orang bisa
menikmatinya. Dan ‘aturan’ inipun berlaku juga pada para raja. Artinya, meski
berstatus sebagai raja, para sultan yang memimpin keraton Jogjakarta, juga
tidak bisa menikmati nasi ini setiap saat.
Media Ritual
Ya, di lingkungan keraton, nasi blawong
memang mejadi salah satu media ritual para raja. Karena itulah, nasi ini tidak
bisa disajikan sembarangan, apalagi dinikmati oleh orang biasa. Nasi blawong
diyakini terkait dengan daya kawijayan
yang membuat para raja yang menikmatinya senantiasa memiliki kejayaan, dalam
masa kepemimpinannya.
Nasi blawong biasanya hanya akan
disajikan pada saat peringatan hari kelahiran raja. Yang mana pada saat itu
akan diikuti dengan serangkaian prosesi ritual dari raja tersebut.
Ritual itu sendiri sebenarnya lebih
bersifat pribadi, karena sebagai wujud rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa.
Karena itu, prosesi yang dilakukannya pun, terbilang sederhana. Sultan atau
raja biasanya akan menjalankan puasa serta melakukan meditasi sehari
sebelumnya. Dan, nasi blawong akan disajikan sebagai menu buka puasa, serta
disantap bersama anggota keluarga keraton.
Gadri Resto menyajikan nasi blawong untuk masyarakat umum |
Ada keyakinan, bahwa barang siapa bisa
mencicipi nasi blawong yang disajikan pada acara syukuran tersebut, maka
hidupnya akan berlimpah berkah. Karena itulah, konon para abdi dalem akan
berusaha untuk mendapatkan sisa-sisa nasi itu, di tiap acara syukuran selesai.
“Nasi ini hanya dimasak pada saat hari
kelahiran sultan, atau pas ada acara yang sifatnya upacara atau ritual khusus.
Karena itu untuk kesehariannya, kita jarang bisa menemuinya. Karena itulah, di
restoran ini saya mencoba menyajikannya sebagai salah satu menu andalan. Agar
mereka yang selama ini penasaran dengan nasi ini, bisa menikmatinya setiap
saat,” jelas BRAy. Hj. Nuraida Joyokusumo, kepada depthINFO.com
Kini nasi blawong memang telah bisa
dinikmati setiap saat. Namun demikian, peredarannya tetap terbatas, dan hanya
restoran milik adik Sri Sultan Hamengku Buwono X saja yang menyajikannya. Sebab
tidak semua orang atau kerabat keraton bisa mengetahui resep rahasia untuk
membuat makanan ini. “Resep nasi ini memang tetap dijaga kerahasiaannya.
Tujuannya tentu untuk menjaga eksklusifitasnya sebagai makanan khusus para
raja,” tambah istri GPH Joyokusumo ini.
Meski secara materi sama, namun nasi
blawong yang disajikan di Gadri Resto jelas berbeda dengan nasi blawong yang
disajikan sebagai media ritual raja. Sebab untuk media ritual, tentu ada
serangkaian prosesi khusus yang membuat nasi tersebut memiliki kelebihan secara
spiritual. Dan salah satu perbedaannya adalah pada piring yang digunakan dalam
penyajiannya.
Sebab nama blawong sendiri konon diambil
dari nama piring khusus yang dipakai sebagai wadah dalam penyajiannya. Kanjeng
Kyai Blawong, demikian piring khusus itu disebut. Hal ini menunjukkan kalau
raja memang memberikan pandangan yang istimewa pada benda ini, sebagaimana
benda-benda lain yang menjadi pusaka keraton. Karena piring ini memang hanya
dipakai untuk menyajikan nasi blawong, bukan yang lain.
Kanjeng Kyai Blawong memang tidak
dipakai dalam penyajian nasi ini di Gadri Resto. Karena jelas tidak mungkin
menggunakan salah satu pusaka itu, untuk hal-hal yang bukan semestinya. Sebab,
hanya raja saja yang memiliki hak dan wewenang, menggunakan benda-benda berstatus
pusaka milik keraton, termasuk Kanjeng Kyai Blawong.
Selain bisa merasakan nikmatnya nasi
blawong, di restoran yang berada di dekat keraton ini, para konsumen juga bisa
menikmati berbagai kuliner yang menjadi menu kesukaan para sultan. “sejak awal
saya memang memiliki tujuan untuk melestarikan warisan kuliner nusantara,
terutama keraton. Dan itu saya wujudkan dengan menyajikan menu-menu khas
keraton, yang tidak bisa ditemui di restoran lain,” pungkas ibu tiga orang anak
ini. //
0 Komentar