Sejumlah kontroversi muncul di seputar peristiwa Serangan Umum 1
Maret 1949, yang diduga sebagai bagian dari propaganda penguasa
SERANGAN Umum 1 Maret 1949 memang
benar-benar berhasil membuktikan bahwa bangsa Indonesia masih memiliki
kedaulatan. Sehingga dalam berbagai perundingan internasional termasuk di Dewan
Keamanan PBB, posisi Indonesia masih diperhitungkan. Namun demikian, dari
peristiwa yang juga disebut dnegan istilah perlawanan rakyat ini terungkap
beberapa fakta menarik, yang di sisi lain memicu kontroversi.
Ya, posisi Soeharto yang naik
menjadi presiden menggantikan Soekarno seolah memberi kewenangan besar baginya
untuk menciptakan sejarah. Di mana banyak fakta seputar peristiwa serangan umum
1 Maret yang lebih cenderung dibuat untuk menonjolkan perannya. Meski faktanya
tidak demikian. Berikut adalah beberapa fakta di balik peristiwa serangan umum
1 Maret.
Peran Sultan
Fakta pertama adalah tentang
siapa penggagas dari serangan ini. Dalam berbagai buku sejarah di amsa Orde
Baru, dengan gamblang ditulis bahwa sosok Letkol Soeharto adalah tokoh di balik
terjadinya peristiwa ini. Tak Cuma ikut memimpin langsung pasukan Indonesia
dalam melawan tentara Belanda, Soeharto disebut sebagai otak di balik gagasan
dilakukannya serangan ini.
Namun seiring perjalanan waktu,
di mana kekuasaan Orde Baru yang semakin surut. Akhirnya terkuak fakta bahwa
pelontar gagasan awal dilakukannya serangan ini adalah raja penguasa Keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
![]() |
Sri Sultan HB IX |
Saat itu Sultan khawatir dnegan
semangat juang tentara dan rakyat yang terus menurun akibat efek agresi militer
Belanda ke 2. Apalagi di saat yang hampir bersamaan, Indonesia juga akan
melakukan perundingan dengan Belanda di forum PBB. Karena itulah Sultan
berpikir perlu untuk memberikan kejutan kepada pasukan Belanda, sebagai wujud
eksistensi dari tentara Indonesia. Dengan memberikan serangan di siang hari,
dan ternyata berhasil membuat Belanda kocar kacir.
Peran Sultan juga diketahui dari
diplomasi yang terjadi pasca serangan umum 1 MAret. Di mana Jenderal Meyer yang
mendatangi Keraton Yogyakarta, tidak berhasil menekan Sultan agar tidak memberi
bantuan kepada tentara Indonesia. Hingga akhirnya pihak Belanda menyerahkan
wilayah Yogyakarta ke Sultan, dan mereka mundur.
Usai diserahkan ke Sultan, maka
Sultan pun melakukan serah terima ke Presiden Soekarno. Bahkan Sultan juga
memberikan bantuan untuk pemerintah Republik Indonesia sebesar 6 juta gulden.
Karena dia menyadari bahwa pemerintah tidak memiliki modal, setelah sekian lama
diterpa peperangan.
Letnan Komarudin
Fakta lain yang tak kalah menarik
dari peristiwa serangan umum 1 Maret 1949 adalah peran Letnan Komarudin, salah
satu anggota pasukan SWK 101, Brigade X di bawah pimpinan Mayor Sardjono. Sosok
Komarudin menjadi perhatian karena kesalahan yang dilakukannya, yang justru
ikut memberi andil dalam keberhasilan tentara Indonesia menguasai ibukota
Yogyakarta.
Disebutkan bahwa dalam
perencanaan serangan disepakati bahwa semua akan melakukan serangan pada
tanggal 1 Maret 1949 pagi, tepat setelah sirine jam malam berakhir. Namun
sebuah kesalahan fatal dilakukan Komarudin yang salah saat melihat tanggal. Di
mana saat tanggal baru menginjak 28 Februari, dia sudah melakukan serangan.
![]() |
Letnan Komarudin mendapat wejangan dari Panglima Sudirman |
Serangan yang cukup sporadic itu
benar-benar membuat Belanda kewalahan. Berbaai kesaktian yang konon dimiliki
Komarudin, benar-benar membuat pasukan Belanda kewalahan. Dan meski akhirnya
bisa mengatasinya, namun Belanda mengira bahwa serangan yang dilakukan oleh
Komarudin adalah serangan dari seluruh pasukan Indonesia. Sehingga keesokan
harinya saat seragan yang sesungguhnya berlangsung, pasukan Indonesia bisa
dengan mudah memenfaatkan kelengahan Belanda. Hingga akhirnya berhasil merebut
ibukota Yogyakarta.
Janur Kuning
Dalam peristiwa serangan umum 1
Maret 1949, ada pemandangan menarik yang bisa terlihat dari para pasukan yang
ikut berperang. Di mana mereka mengenakan janur kuning yang dikalungkan di
leher mereka. Yang selanjutnya menjadi pembeda antara pasukan pendukung
perjuangan dnegan yang tidak.
Pemberian tanda janur kuning yang
konon digagas oleh Soeharto sebagai pemimpin seragan ini bukan tanpa sebab.
Dalam gejolak revolusi yang terjadi di tengah masyarakat, susah untuk
membedakan mana pasukan yang setia dengan NKRI dan mana yang mebelot membela
Belanda. Sebab pada saat itu ditengarai banyak rakyat dan juga tentara yang
ikut pro dengan Belanda, sehingga dikhawatirkan bisa merongrong kekuatan dari
dalam.
Karena itulah lantas Soeharto
melontarkan gagasan pemakaian symbol janur kuning itu sebagai pembeda. Apalagi
dalam kepercayaan masyarakat Jawa, janur kuning juga diyakini sebagai symbol
dari cahaya illahi. Yang diartikan sebagai petunjuk dari Tuhan untuk mewujudkan
kondisi yang lebih baik.
Propaganda Film
Peristiwa sejarah serangan umum 1
Maret juga tak lepas dari perhatian para seniman. Peristiwa besar yang menjadi
bagian dari sejarah perjuangan bangsa Indoensia itupun lantas dibuat dalam
bentuk film. Dan tercatat setidaknya ada 3 film yang bercerita seputar
peristiwa perjuangan tersebut.
Film pertama adalah Enam Djam di
Jogja yang dibuat dua tahun setelah peristiwa itu terjadi. Disutradarai oleh
Usmar Ismail, film ini lebih bercerita tentang gambaran umum kondisi saat
terjadi peristiwa serangan umum 1 Maret 1949. Di sana digambarkan bagaimana
kekacauan yang terjadi di masyarakat, termasuk beragam intrik yang di dalamnya
melibatkan banyak pihak, demi kepentingan pribadi.
Tidak ada tokoh sentral dalam
film hitam putih ini. Sebab Usmar Ismail hanya ingin menggambarkan situasi yang
terjadi, yang disertai dramatisasi tertentu pada beberapa adegan fiktif di
dalamnya.
Film berikutnya adalah Janur
Kuning yang dirilis pada 1979. Dalam film ini sentuhan kekuasaan Soeharto
sebagai salah satu tokoh di balik peristiwa itu mulai tampak. Sebagai pemimpin
pemerintahan saat itu, Soeharto mencoba menciptakan propaganda bahwa dialah
sosok tokoh utama di balik serangan umum 1 Maret 1949. Di sana dia digambarkan
sebagai orang yang melontarkan gagasan awal sampai segala persiapan yang
menyangkut dilakukannya serangan ini.
Disutradarai Alam Rengga
Surawidjaya dan dibintangi actor Deddy Sutomo serta Kaharudin Syah sebagai Soeharto,
film Janur Kuning terbilang sukses di pasaran. Bumbu-bumbu drama yang
ditampilkan di dalamnya cukup membuat masyarakat tertarik untuk menyaksikan,
terutama kemunculan sosok Letnan Komarudin dengan segala kesaktian yang
dimilikinya.
Tak puas dengan film Janur
Kuning, pada tahun 1982 lahirlah film Serangan Fajar yang juga sangat kental
dnegan propaganda Soeharto, terkait perannya dalam peristiwa serangan umum 1
Maret 1949. Di bintangi oleh Amoroso Katamsi dan disutradarai Arifin C Noor,
film ini diwarnai dengan drama menarik dari seorang anak yang bernama Temon.
Temon diceritakan tengah menunggu
kepulangan sang ayah dari medan perang. Namun saat sang ayah belum juga pulang,
perang kembali terjadi di wilayah Yogyakarta. Perang di pagi hari yang selanjutnya
dikenal dnegan serangan umum 1 Maret ini menampilkan sosok Soeharto sebagai
tokoh utama. Dan digambarkan sukses merebut kembali wilayah Yogyakarta selama 6
jam.
Film Janur Kuning dan Serangan
Fajar sempat menjadi film wajib bagi para pelajar di masa Orde Baru, sebagai
bagian dari pelajaran sejarah. Namun seiring lengsernya Soeharto dari kursi
kepresidenan, pengarusan untuk menonton film ini bagi pelajar mulai ditinjau
ulang dan akhirnya dihapuskan. Karena dipandang sarat muatan propagandayang justru
mengaburkan sejarah. *Rd
0 Komentar